Rabu, 12 Maret 2014

10 Sopan Santun yang Harus Diajarkan kepada Anak

BOLDSKY ilustrasi

KOMPAS.com — Tentu setiap orangtua ingin memiliki anak yang sopan dan tahu tata krama. Tugas Andalah sebagai orangtua untuk memberi contoh dan mengajarkan mereka tentang hal ini.

Sopan santun hendaknya diajarkan sejak si anak masih kecil karena mereka lebih mudah dibentuk dan lebih suka mencontoh perilaku orang di sekitar mereka, terutama orangtua. Mulailah mengajarkan dari hal sederhana sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Jangan lupa menjelaskan kepada anak alasan mengapa ia harus berlaku sopan dan menghargai orang lain sehingga mereka lebih termotivasi.

1. Menghormati orangtua dan orang yang lebih tua
Menghormati orangtua dan orang yang lebih tua adalah salah satu norma kesopanan penting yang berlaku di masyarakat. Ajarkan anak-anak untuk selalu berlaku dan berbicara sopan kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Misalnya, memberikan tempat duduk di kendaraan umum kepada ibu hamil atau orang lanjut usia.

2. Minta maaf
Banyak orang beranggapan bahwa meminta maaf berarti menunjukkan kelemahan. Namun, sebaliknya, minta maaf sebenarnya menunjukkan kekuatan dan kelapangan hati seseorang. Ajarkan anak-anak Anda untuk selalu minta maaf ketika ia melakukan kesalahan.

3. Table manner
Jangan anggap sepele masalah table manner. Anak-anak yang paham masalah table manner di rumah biasanya akan menjadi lebih sopan ketika mereka makan di luar rumah. Anda tak mau kan kalau saat diajak makan di restoran, anak berlarian dan memainkan alat makannya? Cara mengajarkan yang terbaik adalah memberi contoh. Jangan berharap si kecil tertib di meja makan jika orangtua selalu makan di depan televisi, misalnya.

4. Ajarkan untuk tak menjawab ulang
Terkadang saat marah Anda mungkin saja mengucapkan kata-kata yang tak seharusnya diucapkan kepada anak. Tak jarang anak juga menjawab balik kata-kata tersebut. Namun, sangat penting untuk mengajarkan anak bahwa hal ini tidaklah baik karena menunjukkan ketidakhormatan kepada orangtuanya.

5. Mengucapkan kata "tolong" dan "terima kasih"
Ada banyak anak yang tidak tahu bagaimana caranya meminta tolong dan juga berterima kasih. Ini sebenarnya adalah masalah kebiasaan, maka biasakan anak-anak untuk mengucapkan kata-kata ini setiap hari. Berilah contoh kepada mereka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang sudah membantu, termasuk kepada tukang sayur langganan atau asisten rumah tangga.

6. Menghormati sesama
Ajarkan anak untuk selalu bisa memahami dan juga menghormati sesamanya. Dengan demikian anak akan tahu bahwa ia dan teman-temannya punya hak yang sama. Norma kesopanan ini akan membantu mencegah terjadinya bullying pada anak-anak.

7. Kesamaan derajat antarsesama
Ajarkan mereka untuk tidak mendiskriminasikan orang berdasarkan kekayaan, warna kulit, pekerjaan, ras, jender, atau agama. Ajarkan mereka bahwa setiap orang berhak diperlakukan sama derajatnya tanpa kecuali.

8. Perlakukan orang lain seperti memperlakukan diri sendiri
Tak ada orang yang mau memperlakukan dirinya sendiri dengan buruk. Anak harus tahu kalau mereka seharusnya memperlakukan orang lain seperti mereka memperlakukan diri mereka sendiri. Hal ini akan membantu meningkatkan kemampuan sosialisasi si anak di lingkungannya.

9. Tak pelit pujian
Orangtua memuji ketika anaknya melakukan hal-hal terpuji dan hebat. Hal ini akan membantu anak untuk menyadari perlunya menghargai upaya seseorang. Namun, ajarkan juga untuk tidak bersikap palsu saat sedang memuji seseorang.

10. Membantu yang lemah
Di sekitar kita masih banyak orang-orang yang membutuhkan bantuan. Misalnya, kakek atau nenek yang ingin menyeberang jalan, anak yatim piatu, dan lain-lainnya. Pastikan mengajarkan anak untuk selalu membantu yang lemah dan membutuhkan bantuan.

Kamis, 20 Februari 2014

10 MACAM SIKSAAN WANITA DI NERAKA



1. Wanita yang digantung rambutnya dan otaknya mendidih
karena tidak menutup rambutnya.

2. Wanita yang digantung lidahnya, dan tangannya dikeluarkan dari
punggungnya sedang cairan aspal panas dituangkan pada
tenggorokannya, karena menyakiti hati suaminya dengan
lidahnya / kata-katanya.

3. Wanita yang digantung dengan buah dadanya karena menyusui
anak orang lain tanpa izin suaminya.

4. Wanita yang diikat dengan tangannya karena keluar rumah
tanpa izin suami dan tidak mandi wajib dari haid dan nifas.

5. Wanita yang diikat dengan kaki dan tangannya sampai ke ubun-
ubun, dibelit dan disengati ular dan kalajengking karena dia
mampu untuk mengerjakan shalat dan puasa tapi tidak
mengerjakannya dan tiak mau wudhu dan mandi wajib.

6. Wanita yang memakan badannya sendiri karena bersolek
untuk dilihat laki-laki lain dan suka membicarakan aib orang lain.

7. Wanita yang menggunting-gunting badannya karena suka
memanjakan diri (ingin terkenal) dan mempertontonkan
perhiasannya di depan orang banyak sehingga tertarik padanya.

8. Wanita berkepala babi dan badannya seperti keledai karena
dia suka berdusta dan mengadu domba.

9. Wanita berbentuk seperti anjing dan api dimasukkan dari mulut
hingga keluar dari duburnya dan malaikat memukul-mukul
kepalanya karena dia ahli fitnah dan suka marah-marah pada
suaminya.

10. Wanita diikat kedua kakinya sampai ke payudara dan kedua
tangannya sampai ke ubun-ubun dan disengati ular dan
kalajengking karena ia telah mempersilahkan laki-laki lain untuk
berzina dengannya.
Sumber: FP; cara memakai jilbab

Selasa, 03 Desember 2013

Seorang Sopir Taksi Muslim di New York dan Nenek yang Kehilangan Uangnya

islampos.com—IA MENEMPUH ribuan mil untuk mencari seorang nenek yang tak dikenalnya. Hanya untuk mengembalikan uang nenek tersebut.

Kejadiannya berlangsung pada malam Natal Desember 2009 lalu. Mukul Asaduzzaman, berusia 28 tahun. Ia berasal dari Bangsladesh. Di New York, ia sedang menjalani studi sebagai mahasiswa pasca-sarjana fakultas kedokteran di Queens. Biaya hidup yang sangat mahal membuatnya menjadi sopir taksi untuk sementara dan menopang kebutuhan sehari-harinya.
Malam itu, seorang nenek asal Italia masuk ke taksinya. Si Nenek berniat mencari kerabatnya di Long Island. Maka, Asaduzzaman pun segera membawa taksinya ke tempat yang dituju.
Ketika sudah sampai, dan menurunkan nenek tersebut, Asaduzzaman pun kembali pulang ke tempatnya berasal. Tapi ketika ia sudah sampai, alangkah terkejutnya ketika ia menemukan ada uang tergeletak. Jumlahnya? Banyak sekali. Yaitu $ 10.000 tunai. Jika dijumlahkan dalam rupiah mencapai kurang lebih Rp. 100 juta!
Akhirnya, tanpa pikir panjang, Asaduzzaman pun kembali memutar taksinya menuju tempat si nenek Italia turun. Sial baginya, ia tidak ingat, dimana ia menurunkan si nenek itu tepatnya. Akhirnya, setelah ia mencari selama tiga malam berturut-turut, ia menunggu di luar sebuah rumah kosong yang diduga berada di antara rumah kerabat nenek tersebut.
Dan tak lama kemudian, ia kembali bertemu dengan si nenek yang dicarinya. Nenek itu bernama Felicia Lettieri. Alangkah leganya Lettieri ketika ia menemukan kembali uangnya yang hilang itu. Ia tak menyangka bahwa sopir taksi itu akan mengembalikannya kepadanya.
“Saat itu begitu indah, begitu baik,” ujar Lettieri, 72. Ia sangat berterima kasih kepada Asaduzzaman.
Tanggapan Asaduzzaman? “Ketika saya berumur 5 tahun, ibu saya mengatakan pada saya, Jujur, dan bekerja keraslah dan kamu akan mendapatkan rejekimu sendiri.”
Yang membuat Amerika heboh dan sampai saat ini masih terus membicaakan kejadian ini adalah karena Asaduzzama menolak untuk menerima imbalan uang dari Lettieri. Media-media AS memberitakannya secara ekslusif.
Yang berikutnya, karena ia adalah seorang Muslim. Dan mungkin, itulah potret Muslim yang tidak pernah mau dilihat oleh orang Amerika yang selalu menganggap “teroris” kepada orang-orang Islam. [sa/islampos/newyorkpost]

Rabu, 20 November 2013

Ketika Bohong Berada Di Sekitar Kita



BOHONG bukanlah hal yang bisa disepelekan, dilakukan olehsiapapun dan dampaknya sangat buruk. Karena dengan bohonglah, dosa dan kemungkaran sulit dibongkar. Bohong akan mempersulit terbukanya pintu taubat.  Karena pertaubatan dimulai dari penyesalan. Dan penyesalan berawal dari pengakuan seseorang terhadap kesalahan yang dilakukannya. Jika kesalahan ditutupi dengan bohong, maka akan semakin jauhlah penyesalan, apalagi pertaubatan.
Dari bohong pertama, selanjutnya bohong-bohong berikutnya. Dan Rasulullah bersabda : “Dan jauhilah oleh kalian bohong. Karena bohong itu menunjukkan pada dosa-dosa. Dan dosa-dosa itu menujukkan ke neraka. Seseorang terus berbohong dan terus memilihnya, hingga ditulis di sisi Allah sebagai pembohong!” (HR. Muslim)
Alangkah sengsaranya keluarga jika para penghuninya telah terjangkiti penyakit bohong. Suami berbohong, istri berbohong dan anak-anak meniru. Dosa dan kesalahan terlindungi oleh kemasan bohong.
Jadi, bagaimana cara mengatasinya?
Berikut ini tips langsung dari Nabi untuk mengatasi bohong
Zaid bin Aslam menyampaikan bahwa Khawat bin Jubair bercerita:
Kami bersama Rasulullah SAW. berhenti di Marr Adz Dzahran. Aku keluar dari tendaku, aku lihat para wanita yang sedang berbincang. Mereka membuatku kagum. Maka aku kembali dan mengambil tas. Darinya aku keluarkan pakaian yang bagus untuk aku pakai. Aku datangi mereka dan duduk bersama mereka.
Rasulullah SAW. terlihat keluar dari tendanya.
Beliau bertanya: Abu Abdillah apa yang membuatmu duduk bersama mereka?
Maka ketika aku lihat Rasulullah SAW, aku merasakan kewibawaan beliau.
Dalam keadaan panik, aku jawab: Ya Rasulullah, untaku lepas. Aku sedang mencari tali kekangnya, tapi ia pergi. Akupun mengikutinya.

Beliau melemparkan seledangnya kepadaku dan masuk ke antara pepohanan. Aku seperti bisa melihat putih perutnya di antara hijaunya pepohonan. Setelah selesai buang air, beliau pun berwudhu. Air nampak mengalir dari jenggotnya ke dadanya. Beliau mendatangiku dan bertanya: Abu Abdillah, bagaimana kabar untamu yang lepas?
Kami pun berangkat melanjutkan perjalanan. Tidaklah beliau menemuiku di sepanjang perjalanan kecuali berkata: Assalamu alaik Abu Abdillah, bagaimana kabar untamu yang lepas?
Ketika aku merasakan (ketidaknyamanan) itu, aku bersegera masuk ke kota Madinah, menghindari masjid dan menghindari duduk bersama Nabi SAW.
Begitulah berlalu beberapa lama. Hingga ketika aku lihat masjid sedang kosong, aku pun masuk ke masjid. Aku shalat. Tiba-tiba, Rasul terlihat keluar dari salah satu kamarnya. Beliau shalat dua rakaat singkat. Aku memperpanjang shalatku dengan harapan beliau pergi dan meninggalkan saya.

Beliau berkata: Panjangkanlah sesukamu Abu Abdillah. Aku tidak akan pergi hingga kamu selesai.
Akupun berkata dalam hati: Demi Allah, aku akan meminta maaf ke Rasulullah SAW. dan menyenangkan hati beliau.(selesai shalat) aku berkata: Demi yang mengutusmu dengan benar, unta itu tidak pernah lepas sejak aku masuk Islam.
Beliau berkata: Semoga Allah merahmatimu… Semoga Allah merahmatimu… Semoga Allah merahmatimu.
Dan beliau tidak lagi membahas tentang unta. (HR. Thabrani dalam al Mu’jam al Kabir, Abu Nu’aim al Ashbahani dalam Ma’rifah al Shahabah)
Khawat jelas tahu bahwa dia berbohong. Karena jelas dia hanya ingin mengobrol dengan wanita-wanita cantik itu. Dan Rasulullah juga tahu bahwa Khawat bohong.Target besar Rasul adalah menghilangkan bohong agar tidak menjadi kebiasaan. Bukan mempermalukan apalagi menghukum untuk melampiaskan kemarahan.
Maka berikut ini tips nabawiyah untuk mengatasi bohong berdasarkan kisah di atas:
Pertama, pilihlah orang yang mempunyai wibawa di hadapan pelaku bohong. Karena hanya yang punya wibawa, yang mampu menghilangkan kebohongan dengan cepat. Seperti kalimat Khawat bin Jubair bahwa sekadar melihat Rasul, pancaran wibawa itu telah menegurnya tanpa kata.
Kedua, jangan menjatuhkan harga dirinya. Apalagi di depan banyak orang. Rasul tidak menegur Khawat di hadapan para wanita itu. Rasul juga tidak mendesak dengan kalimat yang menjatuhkan, saat Khawat menjawab dengan panik.
Ketiga, jadikan jawaban bohong itu sebagai pintu teguran berulang kali. Rasul seakan percaya kalimat Khawat. Karena belum juga ada bukti yang menguatkan bahwa Khawat bohong. Saat Rasul berkali-kali menanyakan jawaban Khawat tentang unta yang lepas, sesungguhnya itu teguran Rasul. Dan Khawat merasakan itu.
Keempat, sabarlah, mungkin tidak tuntas sehari. Perjalanan itu menempuh beberapa hari. Rasul bersabar dan tidak harus selesai hari itu. Begitulah hingga beberapa hari di Madinah pun, Rasul tetap bersabar.
Kelima, tunggu waktu yang tepat untuk menuntaskan. Rasul tahu persis bahwa Khawat sudah merasa bersalah besar, apalagi kebohongan itu dilakukan terhadap orang yang dikaguminya. Khawat yang selalu menghindari Nabi semakin menguatkan bahwa Khawat telah tersiksa dengan kebohongannya sendiri. Maka sudah saatnya untuk dituntaskan. Karena kebohongannya telah menyesakkan nafasnya. Dan pasti dia ingin segera melepaskan diri dari ketidaknyamanan ini.
Keenam, tunjukkan jaminan kenyamanan, kalau dia mau mengaku. Di tengah Khawat ingin segera melepaskan diri dari belenggu bohong. Dia menemukan oase nyaman untuk mengakui kesalahan. Bagaimana tidak, Rasul tidak menunjukkan muka yang masam dan marah. Rasul tidak mengeluarkan kata ancaman.
Ketujuh, jika telah mengaku, tak usah dibahas lagi. Khawat pun mengaku. Dan subhanallah, Rasul tidak membahas mengapa kemarin ia berbohong. Tidak juga membahas lagi tentang jawaban bohong itu.
Kedelapan, tutuplah dengan doa. Indah sekali. Saat orang mengakui kesalahannya, ada bercampur aduk rasa. Dari mulai merasa bersalah, malu hingga takut. Semoga Allah merahmatimu, begitulah embun pembasuh semuanya. Tak hanya sekali. Bahkan Rasul mengatakannya hingga tiga kali. Sumber Islampos [BudiAshari/parentingnabawiyah)

Minggu, 27 Oktober 2013

Mengatasi Suami Marah ala Aisyah

Suami istri (foto muslimahzone.com)
Orang yang cerdas intelektual tidak selalu cerdas secara emosional. Kecepatan seseorang dalam belajar pengetahuan baru, menghafal teks, atau menemukan teori baru tidak selalu berbanding lurus dengan kepandaiannya menjalin hubungan dengan sesama. Termasuk dalam kehidupan keluarga.

Kecerdasan intelektual adalah anugerah bagi orang yang memilikinya. Namun pada saat yang sama ia akan menjadi ujian dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Itu bagi orang yang kecerdasan intelektual menjadikannya angkuh kepada pasangan hidup yang taraf kecerdasannya dianggap lebih rendah. Meskipun sebenarnya suami istri sama-sama cerdas. Fakta banyaknya pasangan keluarga yang berpisah dari kalangan terdidik membuktikannya.

Lain ceritanya jika kecerdasan intelektual itu justru “dimanfaatkan” untuk menjaga langgengnya hubungan.

Suatu hari pada giliran Aisyah, Rasulullah berbaring dengan membuka baju luarnya. Aisyah tampaknya juga sudah tidur. Tiba-tiba Rasulullah bangun dan mengenakan kembali baju luarnya. Keluar dengan pelan-pelan.

Melihat itu Aisyah bangkit. Ia memakai penutup kepala dan mengarungkan kain sarung. Menyamar. Membuntuti Rasulullah.

Ternyata Rasulullah pergi ke makam Baqi’. Di sana beliau berdiri lama, mengangkat tangannya tiga kali, kemudian membalikkan tubuhnya. Agar tidak ketahuan, Aisyah segera kembali. Rasulullah berusaha mengejar. Beliau mempercepat jalannya. Aisyah juga mempercepat jalannya. Rasulullah setengah berlari. Aisyah juga. Rasulullah berlari, Aisyah berlari lebih cepat hingga tiba di rumah lebih dulu. Pura-pura tidur.

“Ada apa denganmu wahai Aisy, mengapa nafasmu tersengal-sengal?” Tanya Rasulullah ketika sudah tiba di kamar.
“Tidak apa-apa wahai Rasul”, jawab Aisyah setenang mungkin.
“Engkau mau memberi tahu akau, atau Allah yang akan memberi tahu?”
“Wahai Rasulullah, biarlah ayah dan ibuku sebagai tebusanmu,….” Aisyah pun menceritakan semuanya.
“Jadi bayangan hitam itu adalah dirimu?” Tanya Rasulullah memastikan.
“Benar”
“Apakah engkau mengira Allah dan Rasul-Nya akan menzalimimu?” nada suara Rasulullah terdengar marah, “Sesungguhnya, saat engkau melihatku melakukan semua itu, Jibril datang padaku. Ia memanggilku dengan suara yang tidak engkau dengar, lalu aku menjawab tanpa terdengar olehmu. Jibril tidak mungkin masuk, karena engkau telah siap-siap tidur. Saat itu aku mengira engkau telah lelap. Aku khawatir mengganggu tidurmu dan mengagetkanmu. Jibril berkata padaku, ‘Sesungguhnya Tuhanmu menyuruh engkau datang ke pekuburan Baqi’ untuk memohonkan ampunan bagi orang-orang yang telah dikubur di sana.’”
“Lantas apa yang harus aku katakana jika dating ke kuburan?” Tanya Aisyah mengalihkan pembicaraan.
“Katakanlah, ‘Kesejahteraan bagimu wahai para penghuni kubur yang terdiri dari orang-orang mukmin dan muslim. Semoga Allah mengasihi semua yang telah mendahului dan yang akan menyusul di kemudian hari diantara kita. Dan sesungguhnya insya Allah kami akan menyusul kalian’.”

Betapa cerdasnya Aisyah! Dan betapa hebatnya ketika ummul mukminin ini menggunakan kecerdasannya untuk meredakan marah Rasulullah. Sang Rasul tidak jadi marah, karena beliau perlu menjawab pertanyaan agama yang diajukan Aisyah.

“Ketika Aisyah tahu bahwa Rasulullah marah kepadanya”, kata Mahmud Al-Misri ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim ini, “maka ia berusaha mengalihkan pembicaraan tentang faktor yang memicu kemarahan beliau kepadanya.”

“Hendaknya,” nasehat beliau dalam buku yang sama: Shahaabiyyat Haular Rasul, “setiap wanita muslimah mengambil pelajaran dari kisah ini. Yakni jika ia mendapati suaminya marah karena suatu perkara, alihkanlah pokok bahasan ke hal lain untuk mengatasi amarahnya, dan agar kehidupan rumah tangga terus berlanjut dengan penuh kasih, keharmonisan, cinta, dan sayang.” [Abu Nida]
Sumber: Bersama Dakwah

Minggu, 01 September 2013

Abu Ghiyats dan Istrinya: Balasan dari Sebuah Kejujuran


Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Pada musim haji aku berada di Mekah. Aku melihat seorang laki-laki dari Khurasan mengumumkan ‘Wahai para jamaah haji, wahai penduduk Mekah, di kota maupun di pedesaan, aku kehilangan sebuah kantong berisi seribu dinar. Siapa yang mengembalikannya kepadaku, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan dan membebaskannya dari neraka, serta dia mendapat pahala balasan pada hari kiamat.”
Berdirilah seorang laki-laki tua dari penduduk Mekah. Dia berkata, “Wahai orang Khurasan, negeri kami ini tabiatnya keras, musim haji adalah waktu yang terbatas, hari-harinya terhitung, dan pintu-pintu usaha tertutup. Mungkin hartamu itu ditemukan oleh seorang mukmin yang miskin atau orang lanjut usia dan dia mendapatkan janjimu. Seandainya dia mengembalikannya padamu, apakah kamu bersedia memberinya sedikit harta yang halal?”
Khurasani menjawab, “Berapa jumlah hadiah yang dia inginkan?”
Orang tua menjawab, “Sepuluh persen, seratus dinar.”
orang Khurasan itu tidak mau. Dia berkata, “Tidak, tetapi aku menyerahkan urusannya kepada Allah dan akan aku adukan dia pada hari dimana kita semua meghadap kepada-Nya. Dialah yang mencukupi kita dan sebaik-baik pelindung.”
Ibnu Jarir berkata, “Hatiku berkata bahwa orang tua itu adalah orang miskin. Dialah penemu kantong dinar tersebut dan ingin memperoleh sedikit darinya. Aku menguntitnya sampai dia tiba di rumahnya. Ternyata dugaanku benar, aku mendengarnya memanggil, ‘Wahai Lubabah’. Istrinya menjawab, ‘Baik Abu Ghiyats’. Orang itu berkata lagi, “Baru saja aku berjumpa dengan pemiliki kantong yang mengumumkan kehilangan kantong ini, tetapi dia tidak mau memberi penemunya sedikit pun. Aku telah mengatakan kepadanya untuk memberi seratus dinar, tapi ia menolak dan menyerahkan urusannya kepada Allah. Apa yang harus aku lakukan wahai Abu Lubabah? Haruskah dikembalikan? Aku takut kepada Allah. Aku takut dosaku bertumpuk-tumpuk.”
Rumah kecil 564x375 Abu Ghiyats dan Istrinya: Balasan dari Sebuah Kejujuran
Lubabah, istrinya menjawab, “Suamiku, kita telah menderita kemiskinan selama 50 tahun. Kamu mempunyai empat anak perempuan, dua saudara perempuan, aku istrimu dan juga ibuku, lalu kamu yang kesempbilan. Kita tidak mempunyai kambing, tidak ada padang gembala. Ambil semua uangnya. Kenyangkan kami, karena kami semua lapar. Beli pakaian untuk kami. Kamu lebih mengerti tentang keadaan kita. Dan semoga Allah membuatmu kaya sesudah itu. Maka kamu bisa mengembalikan uang itu setelah kamu memberi makan keluargamu, atau Allah melunasi utangmu ini di hari kiamat.”
Pak tua itu berkata pada istrinya, “Apakah aku makan barang haram setelah aku menjalani hidup selama 86 tahun? Aku membakar perutku dengan neraka setelah sekian lama aku bersabar atas kemiskinanku dan mengundang kemarahan Allah, padahal aku sudah di ambang pintu kubur. Demi Allah aku tidak akan melakukannya.”
Ibnu Jarir berkata, “Aku pergi dengan terheran-heran terhadap bapak tua itu dan istrinya. Keesokan harinya pada waktu yang sama dengan kemarin, aku mendengar pemiliki dinar mengumumkan, “Wahai penduduk Mekah, wahai para jamaah haji, wahai tamu-tamu Allah dari desa maupun dari kota, siapa yang menemukan sebuah kantong berisi seribu dinar, maka hendaknya dia mengembalikannya kepadaku dan baginya balasan pahala dari Allah.”
Bapak tua itu berdiri dan berkata, “Hai orang Khurasan, kemarin aku telah mengatakan kepadamu, aku telah memberimu saran. Di kota kami ini, demi Allah, tumbuh-tumbuhan dan ternaknya sedikit. Bermurah hatilah sedikit kepada penemu kantong itu sehingga dia tidak melanggar syariat. Aku telah mengatakan kepadamu untuk memberi orang yang menemukan kantong tersebut seratus dinar, tetapi kau menolaknya. Jika uang tersebut ditemukan oleh seseorang yang takut kepada Allah, apakah sudi kau memberinya sepuluh dinar saja, bukan seratus dinar? Agar bisa menjadi penutup dan pelindung baginya dalam kebutuhannya sehari-hari.”
Orang Khurasan itu menjawab, “Tidak. Aku berharap pahala hartaku di sisi Allah dan mengadukannya pada saat kita bertemu dengan-Nya. Dialah yang mencukupi kami dan Dialah sebaik-baik penolong.”
Orang tua itu menariknya sambil berkata, Kemarilah kamu. Ambillah dinarmu dan biarkan aku tidur di malah hari. Aku tidak pernah tenang sejak menemukan harta itu.”
Ibnu Jarir berkata, “Orang tua itu pergi bersama pemiliki dinar. Aku membuntuti keduanya hingga orang tua itu masuk rumahnya. Dia menggali tanah dan mengeluarkan dinar itu. Dia berkata, ‘Ambil uangmu. Aku memohon kepada Allah agar memaafkanku dan memberiku rezeki dari karunia-Nya’.”
Orang Khurasan itu mengambil dinarnya, dan ketika dia hendak keluar, ia kembali bertanya, “Pak tua, bapakku wafat -semoga Allah merahmatinya- dan meninggalkan untukku tiga ribu dinar. Dia mewasiatkan kepadaku, ‘Ambil sepertiganya dan berikan kepada orang yang paling berhak menerimanya menurutmu’. Maka aku menyimpannya di kantong ini sampai aku memberikannya kepada yang berhak. Demi Allah, sejak aku berangkat dari Khurasan sampai di sini aku tidak melihat seseorang yang lebih berhak untuk menerimanya kecuali dirimu. Ambillah! Semoga Allah memberkahimu. Semoga Allah membalas kebaikan untukmu atas amanahmu dan membalas kesabaranmu atas kemiskinanmu.” Lalu dia pergi dan meninggalkan dirinya.
Bapak tua itu menangis. Dia berdoa kepada Allah, “Semoga Allah memberi rahmat kepada pemiliki harta di kuburnya. Dan semoga Allah memberi berkah kepada anaknya.”
Ibnu Jarir berkata, “Maka aku pun meninggalkan tempat itu dengan berjalan di belakang orang Khurasan itu, tetapi Abu Ghiyats menyusulku dan meminta kembali. Dia berkata kepadaku, ‘Duduklah, aku melihatmu mengikutiku sejak hari pertama. Kamu mengetahui berita ini kemarin dan hari ini. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar dan Ali radhiallahu ‘anhuma, “Apabila Allah memberi kalian berdua hadiah tanpa meminta dan tanpa mengharapkan, maka terimalah dan jangan menolaknya. Karena jika demikian, maka kalian berdua telah menolaknya kepada Allah”. Dan ini adalah hadiah dari Allah bagi siapa saja yang hadir.”
Abu Ghiyats lalu memanggil, “Wahai Lubabah, wahai Fulanah, wahai Fulanah.” Dia memanggil putri-putrinya, dua saudara perempuannya, istrinya dan mertuanya. Dia duduk dan memintaku untuk duduk. Kami semua bersepuluh. Dia membuka kantong dan berkata, “Beberkan pengakuan kalian.” Maka aku membeberkan pengakuanku. Adapun mereka, karena tidak memiliki pakaian, maka mereka tidak bisa membentangkan pengakuan mereka. Mereka menadahkan tangan mereka. Pak tua itu mulai menghitung dinar demi dinar, sampai pada dinar kesepuluh dia memberikannya kepadaku sambil berkata, “Kamu dapat dinar.” Isi kantongnya yang seribu dinar itu pun habis dan aku diberinya seratus dinar.
Ibnu Jarir berkata, “Kebahagian mereka atas karunia Allah lebih membahagiakan diriku daripada mendapatkan 100 dinar ini. Manakala aku hendak pergia, dia berkata kepadaku, “Anak muda, kamu penuh berkah. Aku tidak pernah melihat uang ini dan juga tidak pernah memimpikannya. Aku berpesan kepadamu bahwa harta itu halal, maka jagalah dengan baik. Ketahuilah, sebelum ini aku shalat subuh dengan baju usang ini. Kemudia aku melepasnya sehingga anakku satu per satu bisa memakainya untuk shalat. Lalu aku pergi bekerja antara zuhur dan asar. Pada petang hari aku pulang dengan membawa rezeki yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku, kurma dan beberapa potong roti. Kemudian aku melepas pakaian usang ini untuk digunakan shalat zuhur dan asar oleh putri-putriku. Begitu pula shalat maghrib dan isya. Kami tidak pernah membayangkan melihat dinar-dinar ini. Semoga harta ini bermanfaat, dan semoga apa yang aku dan kamu ambil juga bermanfaat. Semoga Allah merahmati pemiliknya di kuburnya, melipatgandakan pahala bagi anaknya, dan berterima kasih kepadanya.”
Ibnu Jarir berkata, “Aku berpamitan dengannya. Aku telah mengantongi seratus dinar. Aku menggunakannya untuk biaya mencari ilmu selama dua tahun. Aku memenuhi kebutuhanku sehari-hari. Aku membeli kertas, bepergian dan membayar ongkosnya dengan uang itu. Enam belas tahun kemudian aku kembali ke Mekah. Aku bertanya tentang bapak tua itu dan ternyata dia telah wafat beberapa bulan setelah peristiwa itu. Begitu pula istrinya, mertuanya, dan dua saudara perempuanya, semuanya telah wafat kecuali putri-putrinya. Aku bertanya tentang mereka. Ternyata mereka telah menikah dengan para gubernur dan raja. Hal itu karena berita kebaikan orang tuanya yang menyebar di seantero negeri. Aku singgah di rumah suami-suami mereka dan mereka menyambutku dengan baik, memuliakanku, hingga Allah mewafatkan mereka. Semoga Allah memberkahi mereka dengan apa yang mereka dapat.”
Firman Allah Ta’ala, “Demikianlah diberi pengajaran kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya.”
Lihatlah bagaimana rezeki yang didapatkan Abu Ghiyats, rezeki yang Allah tetapkan tidak berkurang karena kejujuran dan tidak pula bertambah dengan kebohongan atau dusta demikian pula jatah rezeki tersebut tidak bertambah dengan Korupsi.
Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf

Senin, 15 Juli 2013

Cara Mengontrol Emosi dalam Islam

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Karena marah pula, manusia bisa merusak semua yang ada di sekitarnya. Dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak menusia tercapai.
Karena marah pula, manusia bisa merusak semua yang ada di sekitarnya. Dia bisa banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak menusia tercapai.
Bagaimana Cara Mengendalikan Diri Ketika Sedang Emosi?

Salah satu senjata setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini, setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok, mencaci habis, bahkan sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya.
Tentu saja, permsalahannya tidak selesai sampai di sini. Masih ada yang namanya balas dendam dari pihak yang dimarahi. Anda bisa bayangkan, betapa banyak kerusakan yang ditimbulkan karena marah.
Menyadari hal ini, islam sangat menekankan kepada umat manusia untuk berhati-hati ketika emosi. Banyak motivasi yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar manusia tidak mudahterpancing emosi. Diantaranya, beliau menjanjikan sabdanya yang sangat ringkas,
لا تغضب ولك الجنة
“Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab shahih At-Targhib no. 2749)
Allahu akbar, jaminan yang luar biasa. Surga..dihiasi dengan berbagai kenikmatan, bagi mereka yang mampu menahan amarah. Semoga ini bisa memotivasi kita untuk tidak mudah terpancing emosi.
Agar kita tidak terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar, ada beberapa cara mengendalikan emosi yang diajarkan dalam Al-Quran dan Sunah. Semoga bisa menjadi obat mujarab bagi kita ketika sedang marah.
Pertama, segera memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan, dengan membaca ta’awudz:
أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ
A-‘UDZU BILLAHI MINAS SYAITHANIR RAJIIM
Karena sumber marah adalah setan, sehingga godaannya bisa diredam dengan memohon perlindungan kepada Allah.
Dari sahabat Sulaiman bin Surd radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,
Suatu hari saya duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya memuncak. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِني لأعلمُ كَلِمَةً لَوْ قالَهَا لذهبَ عنهُ ما يجدُ، لَوْ قالَ: أعوذُ بالله مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجيمِ، ذهب عَنْهُ ما يَجدُ
Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Apabila seseorang marah, kemudian membaca: A-‘udzu billah (saya berlindung kepada Allah) maka marahnya akan reda.”(Hadis shahih – silsilah As-Shahihah, no. 1376)
Kedua, DIAM dan jaga lisan
Bawaan orang marah adalah berbicara tanpa aturan. Sehingga bisa jadi dia bicara sesuatu yang mengundang murka Allah. Karena itulah, diam merupakan cara mujarab untuk menghindari timbulnya dosa yang lebih besar.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib Al-Arnauth menilai Hasan lighairih).
Ucapan kekafiran, celaan berlebihan, mengumpat takdir, dst., bisa saja dicatat oleh Allah sebagai tabungan dosa bagi ini. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ
Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang dia tidak terlalu memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang dalamnya sejauh timur dan barat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Di saat kesadaran kita berkurang, di saat nurani kita tertutup nafsu, jaga lisan baik-baik, jangan sampai lidah tak bertulang ini, menjerumuskan anda ke dasar neraka.
Ketiga, mengambil posisi lebih rendah
Kecenderungan orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi.. dan lebih tinggi. Semakin dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa melampiaskan amarahnya sepuasnya.
Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan saran sebaliknya. Agar marah ini diredam dengan mengambil posisi yang lebih rendah dan lebih rendah. Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ، فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-Arnauth).
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadis ini, melindungi dirinya ketika marah dengan mengubah posisi lebih rendah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya, dari Abul Aswad Ad-Duali, beliau menceritakan kejadian yang dialami Abu Dzar,
“Suatu hari Abu Dzar mengisi ember beliau. Tiba-tiba datang beberapa orang yang ingin mengerjai Abu Dzar. ‘Siapa diantara kalian yang berani mendatangi Abu Dzar dan mengambil beberapa helai rambutnya?’ tanya salah seorang diantara mereka. “Saya.” Jawab kawannya.
Majulah orang ini, mendekati Abu Dzar yang ketika itu berada di dekat embernya, dan menjitak kepala Abu Dzar untuk mendapatkan rambutnya. Ketika itu Abu Dzar sedang berdiri. Beliaupun langsung duduk kemudian tidur.
Melihat itu, orang banyak keheranan. ‘Wahai Abu Dzar, mengapa kamu duduk, kemudian tidur?’ tanya mereka keheranan.
Abu Dzar kemudian menyampaikan hadis di atas. Subhanallah.., demikianlah semangat sahabat dalam mempraktekkan ajaran nabi mereka.
Mengapa duduk dan tidur?
Al-Khithabi menjelaskan,
القائم متهيئ للحركة والبطش، والقاعد دونه في هذا المعنى، والمضطجع ممنوع منهما، فيشبه أن يكون النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنما أمره بالقعود لئلا تبدر منه في حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعدُ
Orang yang berdiri, mudah untuk bergerak dan memukul, orang yang duduk, lebih sulit untuk bergerak dan memukul, sementara orang yang tidur, tidak mungkin akan memukul. Seperti ini apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah beliau untuk duduk, agar orang yang sedang dalam posisi berdiri atau duduk tidak segera melakukan tindakan pelampiasan marahnya, yang bisa jadi menyebabkan dia menyesali perbuatannya setelah itu. (Ma’alim As-Sunan, 4/108)
Keempat, Ingatlah hadis ini ketika marah
Dari Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَظَمَ غَيْظاً وَهُوَ قادرٌ على أنْ يُنفذهُ دعاهُ اللَّهُ سبحانهُ وتعالى على رءوس الخَلائِقِ يَوْمَ القيامةِ حتَّى يُخيرهُ مِنَ الحورِ العين ما شاءَ
“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi, dan dihasankan Al-Albani)
Subhanallah.., siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil oleh Allah di hadapan semua makhluk pada hari kiamat, untuk menerima balasan yang besar? Semua manusia dan jin menyaksikan orang ini, maju di hadapan mereka untuk menerima pahala yang besar dari Allah ta’ala. Tahukah anda, pahala ini Allah berikan kepada orang yang hanya sebatas menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya. Bisa kita bayangkan, betapa besar pahalanya, ketika yang dia lakukan tidak hanya menahan emosi, tapi juga memaafkan kesalahan orang tersebut dan bahwa membalasnya dengan kebaikan.
Mula Ali Qori mengatakan,
وَهَذَا الثَّنَاءُ الْجَمِيلُ وَالْجَزَاءُ الْجَزِيلُ إِذَا تَرَتَّبَ عَلَى مُجَرَّدِ كَظْمِ الْغَيْظِ فَكَيْفَ إِذَا انْضَمَّ الْعَفْوُ إِلَيْهِ أَوْ زَادَ بِالْإِحْسَانِ عَلَيْهِ
Pujian yang indah dan balasan yang besar ini diberikan karena sebatas menahan emosi. Bagaimana lagi jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya dengan kebaikan. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 6/140).
Satu lagi, yang bisa anda ingat ketika marah, agar bisa meredakan emosi anda:
Hadis dari Ibnu Umar,
من كف غضبه ستر الله عورته ومن كظم غيظه ولو شاء أن يمضيه أمضاه ملأ الله قلبه يوم القيامة رضا
Siapa yang menahan emosinya maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang menahan marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunya dalam Qadha Al-Hawaij, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Ya, tapi yang sulit bukan hanya itu. Ada satu keadaan yang jauh lebih sulit untuk disuasanakan sebelum itu, yaitu mengkondisikan diri kita ketika marah untuk mengingat balasan besar dalam hadis di atas. Umumnya orang yang emosi lupa segalanya. Sehingga kecil peluang untuk bisa mengingat balasan yang Allah berikan bagi orang yang bisa menahan emosi.
Siapakah kita dibandingkan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Sekalipun demikian, beliau terkadang lupa dengan ayat dan anjuran syariat, ketika sudah terbawa emosi.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang minta izin kepada Khalifah Umar untuk bicara. Umarpun mengizinkannya. Ternyata orang ini membabi buta dan mengkritik habis sang Khalifah.
‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, kamu tidak memberikan pemberian yang banyak kepada kami, dan tidak bersikap adil kepada kami.”
Mendengar ini, Umarpun marah, dan hendak memukul orang ini. Sampai akhirnya Al-Hur bin Qais (salah satu teman Umar) mengingatkan,
‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Berikanlah maaf, perintahkan yang baik, dan jangan hiraukan orang bodoh.’ dan orang ini termasuk orang bodoh.’
Demi Allah, Umar tidak jadi melampiaskan emosinya ketika mendengar ayat ini dibacakan. Dan dia adalah manusia yang paling tunduk terhadap kitab Allah. (HR. Bukhari 4642).
Yang penting, anda jangan berputus asa, karena semua bisa dilatih. Belajarlah untuk mengingat peringatan Allah, dan ikuti serta laksanakan. Bisa juga anda minta bantuan orang di sekitar anda, suami, istri, anak anda, pegawai, dan orang di sekitar anda, agar mereka segera mengingatkan anda dengan janji-janji di atas, ketika anda sedang marah.
Pada kasus sebaliknya, ada orang yang marah di masa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun meminta salah satu sahabat untuk mengingatkannya, agar membaca ta’awudz, A-‘udzu billahi minas syaithanir rajim..
وَقَالَ: له أحد الصحابة «تَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ» فَقَالَ: أَتُرَى بِي بَأْسٌ، أَمَجْنُونٌ أَنَا، اذْهَب
“Salah satu temannya mengingatkan orang yang sedang marah ini: ‘Mintalah perlindungan kepada Allah dari godaan setan!’ Dia malah berkomentar: ‘Apakah kalian sangka saya sedang sakit? Apa saya sudah gila? Pergi sana!’ (HR. Bukhari 6048).
Kelima, Segera berwudhu atau mandi
Marah dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin.
Terdapat hadis dari Urwah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan,
إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad 17985 dan Abu Daud 4784)
Dalam riwayat lain, dari Abu Muslim Al-Khoulani, beliau menceritakan,
Bahwa Amirul Mukminin Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan masyarakat. Dan ketika itu, gaji pegawai belum diserahkan selama dua atau tiga bulan. Abu Muslim-pun berkata kepada beliau,
‘Hai Muawiyah, sesungguhnya harta itu bukan milikmu, bukan milik bapakmu, bukan pula milik ibumu.’
Mendengar ini, Muawiyah meminta hadirin untuk diam di tempat. Beliau turun dari mimbar, pulang dan mandi, kemudian kembali dan melanjutkan khutbahnya,
‘Wahai manusia, sesungguhnya Abu Muslim menyebutkan bahwa harta ini bukanlah milikku, bukan milik bapakku, bukan pula milik ibuku. Dan Abu Muslim benar. kemudian beliau menyebutkan hadis,
الغضب من الشيطان ، والشيطان من النار ، والماء يطفئ النار ، فإذا غضب أحدكم فليغتسل
Marah itu dari setan, setan dari api, dan air bisa memadamkan api. Apabila kalian marah, mandilah.
Lalu Muawiyah memerintahkan untuk menyerahkan gaji mereka.
(HR. Abu Nuaim dalam Hilyah 2/130, dan Ibnu Asakir 16/365).
Dua hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Hadis pertama dinilai lemah oleh An-Nawawi sebagaimana keterangan beliau dalam Al-Khulashah (1/122). Syuaib Al-Arnauth dalam ta’liq Musnad Ahmad menyebutkan sanadnya lemah. Demikian pula Al-Albani menilai sanadnya lemah dalam Silsilah Ad-Dhaifah no. 581.
Hadis kedua juga statusnya tidak jauh beda. Ulama pakar hadis menilainya lemah. Karena ada perowi yang bernama Abdul Majid bin Abdul Aziz, yang disebut Ibnu Hibban sebagai perawi Matruk (ditinggalkan).
Ada juga ulama yang belum memastikan kelemahan hadis ini. Diantaranya adalah Ibnul Mundzir. Beliau mengatakan,
إن ثبت هذا الحديث فإنما الأمر به ندبا ليسكن الغضب ، ولا أعلم أحدا من أهل العلم يوجب الوضوء منه
Jika hadis ini shahih, perintah yang ada di dalamnya adalah perintah anjuran untuk meredam marah dan saya tidak mengetahui ada ulamayang mewajibkan wudhu ketika marah. (Al-Ausath, 1/189).
Karena itulah, beberapa pakar tetap menganjurkan untuk berwudhu, tanpa diniatkan sebagai sunah. Terapi ini dilakukan hanya dalam rangka meredam panasnya emosi dan marah. Dr. Muhammad Najati mengatakan,
يشير هذا الحديث إلى حقيقة طبية معروفة ، فالماء البارد يهدئ من فورة الدم الناشئة عن الانفعال ، كما يساعد على تخفيف حالة التوتر العضلي والعصبي ، ولذلك كان الاستحمام يستخدم في الماضي في العلاج النفسي
Hadis ini mengisyaratkan rahasia dalam ilmu kedokteran. Air yang dingin, bisa menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa digunakan untuk menurunkan tensi darah tinggi. Karena itulah, di masa silam, terapi mandi digunakan untuk terapi psikologi.
(Hadis Nabawi wa Ilmu An-Nafs, hlm. 122. dinukil dari Fatwa islam, no. 133861)
اَللَّهُمَّ نَسْأَلُكَ كَلِمَةَ الحَقِّ فِي الرِضَا وَالغَضَبِ
Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kalimat haq ketika ridha (sedang) dan marah
[Doa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalatnya – shahih Jami’ As-Shaghir no. 3039]

Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembinawww.KonsultasiSyariah.com)